Titik rendah kehidupan

Raihan Allaam
14 min readMay 5, 2020

--

Tulisan ini tentang pengalaman tak terlupakan gue, bergulat dengan si monster penguasa kepala, yang membuat hidup kacau, namun sekaligus memberikan banyak pembelajaran setelahnya. Atau gamblangnya, sebuah kisah bangkit dari mental illness — depresi, now I’m ready to talk. Semoga ada manfaat yang bisa dipetik, dan bisa jadi pembelajaran bagi yang membaca.

Illustration by Freepik

Gue bersyukur masih bisa bernafas hingga detik ini, masih bisa melanjutkan hidup hari demi hari, masih bisa belajar banyak hal yang bermanfaat, masih bisa melakukan yang terbaik setiap harinya, masih bisa berjumpa dengan temen-temen, masih bisa berkumpul dengan keluarga, masih bisa beribadah, masih bisa menulis tulisan ini. Gue bersyukur akan semua nikmat yang bisa gue rasakan hingga detik ini.

Karena entah apa jadinya jika beberapa tahun lalu gue memilih untuk menyerah dan kalah dari si monster yang mendominasi kelapa gue saat itu, yang membuat hari-hari menjadi begitu hambar dan penuh kekosongan, yang membuat gue malakukan hal yang tidak-tidak, yang membuat hidup gue kacau, berantakan.

Gue dengan jujur pernah berada di titik rendah kehidupan (atau apapun istilah yang mengarah kesana). Titik ini kelam, sungguh. Di titik ini, gue merasa segalanya tampak kacau, seolah hari demi hari yang gue lalui hanya menjadikan diri gue semakin berantakan. Isi kepala gue menjadi ladang pertempuran dahsyat atas pikiran-pikiran liar yang tak terkendali. Apapun menjadi salah. Siapapun manjadi salah. Bagaimanapun perbuatan orang lain terhadap gue, salah, semua salah. Kontrol diri lenyap, iman terkelupas perlahan, dan segalanya menjadi ambyar. Sungguh, ini bukan sebuah ungkapan yang berlebihan, namun begitulah rasanya.

Si monster (pikiran liar yang kacau) secara perlahan menuntut gue buat melakukan hal yang tidak-tidak — kabur tanpa tujuan, mengisolasi diri, menyiksa fisik diri sendiri, menulis surat perpisahan (u know), memutus kontak dengan semua orang, menyalahkan semua orang, hingga yang terparah, menyalahkan Tuhan. Semua itu pernah gue alamin, gue merasakan bagaimana mental gue beneran sakit, dan ini jauh lebih buruk dari semua penyakit fisik yang pernah gue rasakan. Bagaimana tidak, hobi, kesukaan, keluarga, teman-teman, cemilan, video games, bahkan komedi yang orang normal mengganggapnya sangat lucu sekalipun rasanya hambar, begitu hambar, sebuah kekosongan, sebuah nihilisme.

Dan semakin hari, benar saja, semakin memburuk, gue sampai di titik gue gak gak bisa bersosial dengan siapapun, gak bisa memutuskan perkara-pekara kecil, gak bisa memproses informasi yang masuk ke kepala, linglung dan mengabaikan segala nasihat yang ortu gue beri, yang sahabat gue beri, yang psikolog beri. Gue diam seribu bahasa saat terlibat dalam sebuah obrolan, gue iya iya aja, gue gak tahu harus merespon apa dan bagaimana, gue gak bisa bersikap, dan seolah terlihat seperti seorang bodoh yang gak bisa berbuat apa-apa (meski pada kenyataanya gue berusaha memakai topeng senyum kemanapun gue pergi saat itu). Si monster kini mendominasi dan menguasai kepala gue, bahkan saat gue kumpul bareng temen sekalipun. Sungguh sakit.

Illustration by Headspace

Mungkin sebagian temen-temen gue ada yang sadar akan hal ini saat jumpa dengan gue beberapa tahun lalu, dan pernah ngerasa gue menjadi sosok yang gak kalian kenal, sosok pendiem, sosok apatis yang membosankan, sorry gue beneran lagi kacau saat itu guys.

Namun, bagai sebuah keajaiban, gue menemukan titik balik yang mampu merubah 180° cara pandang, cara bersikap gue ke arah yang lebih baik, yang membuat mental gue pulih kembali. Di tahap ini, gue berhasil bangkit dan keluar dari titik rendah di waktu yang tepat — sebelum hal-hal yang lebih buruk terjadi berikutnya, sebelum si monster sepenuhnya mengendalikan hidup gue — Tentunya dengan ikhtiar dan waktu yang gak sebentar buat sampai pada titik pulih tersebut.

Dan sekarang gue bakal sharing apa yang sebenarnya terjadi dalam diri gue saat itu (dan mungkin juga terjadi pada banyak orang di luarsana, atau mungkin juga kamu yang membaca tulisan ini), apa akar permasalahannya dan apa pula solusi yang bisa diaplikasikan, hingga dengan penuh syukur gue berhasil keluar dari titik rendah kehidupan itu dan menemukan titik balik yang kini membuat gue kembali sehat secara mental dan menjalani kehidupan normal seperti sedia kala — dalam versi gue seutuhnya. Dan tentunya semoga sedikit menjadi pembelajaran bagi siapapun yang membaca.

Bermula dari awal perkuliahan semester 5. Gue yang memang basenya cenderung lebih suka menyendiri dalam beraktifitas — entah mengapa gue merasakan kebebasan bereksplorasi saat gue melakukan hal-hal sendiri — mulai dari mengerjakan tugas, berolahraga, mencari makan, hingga berjalan-jalan (pake motor) mengelilingi kota, gue sendirian. Gak banyak pertemanan yang gue ciptakan semasa kuliah, hanya temen-temen kelas dan beberapa lulusan SMA yang berkuliah di tempat yang sama dengan gue. Hal ini berkontradiksi dengan masa SMA gue dulu, dimana gue membuka banyak pertemanan dan circle, mulai dari temen kepanitiaan, ekskul, osis hingga organisasi di luar SMA.

Di masa kuliah ini, gue rasa gue salah mengambil langkah, memutuskan untuk tidak terlibat dalam organisasi apapun (sebenarnya pernah, hanya saja gak lama berjalan, gue keluar), yang mana kita semua tahu manfaat dari ikut organisasi bukan? pengembangan soft-skill yang tidak didapatkan di kelas, membuka relasi, menambah pengalaman, dst... Ini pula yang menyebabkan pertemanan gue yang hanya segitu-gitu aja di masa kuliah.

Semua itu karena diawal gue berpikir seperti layaknya seorang maba (mahasiswa baru) yang berapi-api, fokus belajar dan mempersiapkan masa depan sebaik mungkin. Dan secara singkat, di semester 5 semuanya gak berjalan sesuai ekspektasi awal. Organisasi nihil, prestasi nihil, belajar sekadarnya, dan gue terlelap dalam kesembronoan: malas, waktu habis dengan sia-sia, terlalu banyak bermain games, terlalu asik dengan diri sendiri, dan terlalu-terlalu lainnya yang sifatnya negatif. Target di awal yang gue ikrarkan semuanya berakhir sirna, daftar mimpi yang gue tulis untuk masa kuliah pada akhirnya hanya sebatas daftar saja, malah bikin gue murung.

Illustration by ABC.net

Hari demi hari berlalu, perlahan tapi pasti gue merasa semakin buruk dan buruk. Gue mulai membuka mata, dan melihat sekitar (setelah sekian lama asik dengan diri sendiri): ada temen seumuran gue yang berhasil menyabet prestasi, ada yang memenangkan kompetisi, menjuarai perlombaan, ada yang sudah membuka bisnisnya sendiri, ada yang terlibat proyek belasan juta rupiah, ada yang nge-build startupnya sendiri, ada yang happy hangout bareng circlenya ke tempat-tempat seru, ada yang nongkrong sana-sini menjelajah seisi kota, ada yang ikut pertukaran pelajar ke luar negeri, ada yang sukses menciptakan robot canggih, ada yang menjadi ketua kepanitiaan, ketua UKM, ketua organisasi, ketua angkatan. Ada yang menjadi asisten laboratorium, ada yang menjadi asisten kepercayaan dosen, ada yang rutin menjadi volunteer dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan.

Ada yang kini pandai dalam olahraga tertentu, ada yang skillnya jauh melampaui ekspektasi orang-orang, ada yang bisa 10 bahasa pemrograman, ada yang punya portfolio keren abis, ada yang menjadi pemateri di satu acara, ada yang sudah siap lulus 3,5 tahun, ada yang sudah dijamin diterima di sebuah perusahaan tertentu, ada yang udah menghasilkan uang, ada yang hebat banget saat berbicara di depan umum, ada yang sangat bijak dalam bersikap, ada yang jago bikin konten, tutorial, dst… hingga ada pula yang sudah menikah. Semuanya terlihat begitu menakjubkan. Kenyataan-kenyataan itu membuat gue merasa diri ini telah gagal, “han, kemana aja elo selama ini? lihat temen-temen lo” dan berujung pada awal kehancuran — membenci diri sendiri. Inilah yang menjadi titik awal masa kelam gue saat itu.

Sejak saat itu, pikiran-pikiran liar mulai datang menghantui, si monster mulai singgah, mengendap dan memenuhi seisi kepala. Gue sepanjang hari hanya menyesali diri sendiri, melihat diri ini sebagai sebuah kegagalan, dan merasa sangat tertinggal jauh dari teman-teman sebaya gue saat itu. Gue bercermin dan menghujat diri gue sendiri “elo bisa apa han? apa yang udah lo lakuin sampai saat ini? apa pencapaian lo? lo gak bisa apa-apa, lo gak punya pengalaman, circle pertemanan lo mentok disitu-situ aja, disaat orang lain semakin berkembang dan dewasa, lo masih terjebak di fase bocah labil, lo gak guna, IPK lo kini hanya sebatas nilai yang gak merepresentasikan kemampuan lo, lo gagal jalanin masa muda han… lo gagal jalanin masa kuliah…” begitu seterusnya, hingga gue bener-bener rusak karena ucapan gue sendiri, karena kebencian gue terhadap diri sendiri. Sungguh, naas.

Di titik ini, gue mulai merasa semua serba salah. Apapun, siapapun, bagaimana pun salah. Pandangan gue terhadap orang lain selalu salah, gue bahkan gak bisa liat orang lain seneng akan pencapaiannya, tidak untuk saat itu. Segala hal yang membuat gue seneng pun, semua mulai berubah menjadi sebuah kekosongan. Perlahan hobi gue, kesukaan gue mulai hambar saat dilakuin. Kini gue nihil. Hingga gue sulit berkonsentrasi dan memutuskan perkara-perkara kecil sekalipun. Tugas-tugas kampus, gak sanggup lagi gue kerjakan, gue lebih sering bolos kelas dan menghindari semua permasalahan. Dan, kini gue benar-benar ambyar.

Gue ketakutan akan masa depan. Gue merasa tertekan dengan situasi ini. Gue merasa bersalah atas diri gue sendiri, gue merasa bersalah atas temen-temen dan sahabat gue, juga atas orang tua yang telah membiayai dan menghidupi gue. Gue mulai menyalahkan Tuhan, padahal jelas-jelas semua keadaan ini gue yang ciptakan sendiri. Gue mulai takut bertemu dengan orang-orang dan menghindari sosial sebisa mungkin. Gue merasa diri ini yang paling rendah dari semua orang yang gue kenal. Gue minder, gue rapuh. Dan sampailah pada titik yang terparah, setelah waktu yang cukup lama gue terjebak di titik rendah ini, gue berpikir untuk “pergi”(iya pergi yang itu) dan menulis surat perpisahan di note di smartphone gue. Gue merasa gak ada gunannya lagi gue berpijak. Begitulah yang gue rasakan dan lakukan. Sungguh.

Illustration by Chataline

Huft… Inget hal ini bikin gue sendu-sendu sendiri. Ternyata gue pernah gitu. Mungkin sebagian orang akan bilang, “lo lebay banget sih han, cuman masalah kek gitu bikin lu stress akut”, jujur.. sebelum gue di titik rendah itu, gue pun melihat orang-orang depresi kaya gitu, berkata dalem hati “kok masalah kaya gini doang bisa bikin stress sih, orang lain bahkan punya masalah yang lebih sulit lagi dan mereka kuat-kuat aja toh“ .

Dan hal itu menampar gue dengan sangat keras, pada akhirnya gue diberi pelajaran, ditempatkan di titik kelam itu dan merasakan sendiri bagaimana rasanya. Dan kini gue sadar bahwa cara pandang seseorang terhadap suatu masalah akan berbeda satu sama lain, yang menurut si A ringan bisa saja menurut si B berat, entah itu tergantung dari pengalaman, kekuatan/daya tahan mental, atau hal-hal yang gue pun sendiri gak ngerti.

Dan sesaat sebelum gue melakukan hal yang tidak-tidak, dengan teramat syukur yang tak ternilai, nyatanya Tuhan selalu sayang hambaNya, Ia memberikan jalan keluar dan menuntun gue secara perlahan. Ia memberi harapan dengan memberikan gue keberanian untuk melangkah dan keluar dari kondisi ini, dengan menjernihkan pikiran keruh gue melalui ibadah, dengan menunjukkan ucapan-ucapan yang membangun dari orang-orang yang gue percaya. Dengan menunjukkan kepada gue video-video, tulisan-tulisan, podcast-podcast yang menginspirasi dan mencerahkan, saat gue surfing di Internet. Dan dengan segala hal lainnya yang baik gue sadari maupun tidak.

Kini pikiran gue sedikit bisa gue kontrol. Gue mulai gerak, satu persatu gue mengaplikasikan solusi yang udah gue dapet, gue mulai bercerita dan gak memendam semua ini sendirian, gue mulai terbuka pada sahabat gue, pada orang tua gue, dan untuk sementara waktu gue merasa lebih baikan, gue menumpahkan semua bendungan emosional dan air mata gue di depan orang yang gue ceritain. Dan itu membuat gue lebih baik lagi— meski nampak terlihat cengeng, namun nyatanya ini menyehatkan gue secara mental, ini menjadi langkah awal gue buat mengaplikasikan solusi-solusi berikutnya.

Gue pun mulai membaca (dalam kadar yang banyak) tulisan-tulisan, pengalaman-pengalaman dari orang yang pernah ngalamin hal yang sama dengan gue, dan bagaimana mereka behasil keluar dari titik kelam itu, dan bagaimana mereka yang berhasil sembuh saling mendorong dan menginspirasi satu sama lain. Gue mulai pergi ke professional (psikolog), bercerita ini dan itu, membeberkan ini dan itu, dan munculah kesimpulan: emosi gue tinggi banget, dan ada masalah dengan mindset gue, that’s it. Itulah yang harus dibereskan dengan segera. Selangkah demi selangkah gue keluar, bangkit dari titik rendah kehidupan ini.

Step 1 (minimize the problem):

Saat kamu dilanda masalah berat yang kamu gak sanggup buat menanggungnya sendiri, coba ceritakan pada orang yang bisa kamu percaya. Hal ini akan membuat permasalahanmu jauh lebih ringan. Sehingga kamu dapat melakukan hal-hal baik berikutnya.

Illustration by Ouch.pics

Dan beberapa waktu berlalu, kini gue dengan penuh sadar memahami akar permasalahan gue, ialah perkara mindset (pikiran liar — si monster tadi itu) yang didorong oleh emosi yang tinggi, kejenuhan akan kesendirian dan lingkungan sekitar dan krisis identitas (ketidaktahuan siapa diri gue sebenarnya). Gue akut parah saat membandingkan diri gue dengan temen-temen sebaya gue yang mereka jauh lebih berkembang. Gue terlalu gusar saat tahu temen gue ada yang sudah menikah, sedangkan gue masi gini-gini aja. Gue terlalu cemas akan masa depan gue kalo melihat dari kondisi gue saat itu. Dan itu semua yang membuat gue membenci diri sendiri. Dan itu pula yang menjadi biang penyakit mental yang bikin gue kacau saat itu.

Step 2 (fix your mindset):

Perbaiki mindsetmu, berhenti menyalahkan diri sendiri, berhenti membandingkan diri kamu dengan orang lain, cukup dengan diri kamu di hari kemarin. Ketahuilah, timeline setiap orang berbeda. Bukan tentang seberapa cepat kamu, tapi tentang seberapa baik kamu berproses.

Illustration by Freepik

Setelah situasi membaik, setelah gue berhenti membenci diri sendiri, setelah gue berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan mulai menerima segala kekurangan dan kenyataan gue apa adanya, setelah si monster sudah tidak erat lagi cengkramannya. Gue mulai menjalankan solusi-solusi lainnya. “Okey, gue gak bisa diem terus disini, sebelum si monster itu kembali menyerang, gue harus keluar dari zona nyaman, segera secepat mungkin, gue harus menciptakan pengalaman-pengalaman baru yang membuat gue fresh lagi”. Dan akhirnya gue wake up memutuskan untuk keluar dan pergi “mengembara”, mencari lingkungan, teman dan situasi yang bener-bener baru, dengan berbekal harapan bahwa pikiran dan mental gue bisa sembuh secara perlahan.

Saat liburan semester 6 tiba, dengan bermodalkan keberanian gue meminta izin orangtua gue buat pergi ke kampung inggris, di Pare selama 1 bulan lamanya. Dengan niat terjun ke lingkungan yang benar-benar baru, mencari teman-teman baru, membuka cara pandang baru dengan pengalaman yang gak gue dapet selama ini, dan terakhir tentunya untuk belajar bahasa Inggris (meski ini hanya niat sampingan). Dan benar saja, gak lama berlangsung, gue berasa hidup lagi, gue semakin membaik dan membaik, gue kembali bercanda dengan teman-teman disana, gue mulai terbiasa lagi berbicara di depan orang (dan pake bahasa Inggris btw, meski masih kacau), pikiran gue mulai bisa mengolah informasi yang masuk dan gue kembali bisa berkonsentrasi. Dan inilah titik balik gue. Inilah awal dari cerita sembuh gue.

Step 3 (go out!):

Saat kamu jenuh dan segalanya tampak kacau, coba cari lingkungan baru, cari teman baru, buat pengalaman di luar zona nyamanmu, dan beranikan diri untuk melakukannya. Hal ini akan membuka pikiran sempitmu, akan memperluas cara pandangmu. Jangan hanya diam di tempat yang sama, ini hanya memperburuk keadaanmu.

Illustration by Ouch.pics

Setelah 1 bulan lamanya gue re-charge ulang jiwa gue, keseharian gue, cara memandang suatu (mindset), cara bersikap, cara berprilaku, cara bersosial gue, pada akhirnya gue pulang dengan diri gue yang baru, diri gue yang lebih baik, diri gue yang utuh. Sekarang semuanya tampak cerah, si monster sudah pergi jauh-jauh, namun tetap gak menutup kemungkinan akan balik lagi suatu saat. Tetapi, dengan pengalaman yang udah gue lewati itu, setidaknya kini gue punya bekal terkait apa-apa yang harus dilakukan. Dan sekarang gue sadar makna dibalik semua pengalaman ini:

Tuhan membuat kuat hambaNya dengan terlebih dahulu menempatkan kita pada satu kondisi yang sulit, kemudian kita belajar dan belajar dari situ, pada akhirnya kita keluar dengan cara pandang baru, pribadi yang lebih baik, lebih tangguh dan tentunya selalu bersyukur.

Eits, tapi gak berhenti sampai disini. Meskipun kini mindset gue udah jernih, rasa kesendirian gue kini lenyap, ada satu hal yang sangat berpotensi membuat gue kembali ke titik rendah itu, yaitu krisis identitas. Jujur, sekarang semua memang lebih baik, namun gue masi belum kenal jauh siapa diri gue sebenarnya. Mengapa mengenal diri sendiri itu penting? Entahlah, psikolog, temen-temen yang berhasil sembuh, para motivator berkata bahwa mengenali diri sendiri itu jauh lebih penting sebelum mengenal orang lain. Dan itu setidaknya dapat menjadi tameng saat sebuah nihilisme datang lagi.

Dan karena alasan itulah gue bener-bener meluangkan waktu berminggu-minggu lamanya hanya untuk mengenali siapa diri gue sebenarnya, apa yang sebenarnya gue suka, apa yang menjadi bakat gue, apa yang sebenarnya gue inginkan dalam kehidupan ini, karena dengan jujur gue merasa apa yang gue lakukan selama ini di masa kuliah mungkin bukan apa yang sebenarnya gue inginkan, salah jurusan kah? entahlah, gue masih mencoba eksplorasi, selagi muda, dan tentunya inilah timeline hidup gue, atau gamblangnya: justru di akhir semester masa perkuliahan gue, gue merasa seolah gue baru memulai segalanya, dan ini bukanlah sebuah masalah, bukan pula sebuah aib, tidak ada kata terlambat untuk memulai bukan?

Gue mulai membeli dan membaca buku-buku tentang pengembangan diri maupun self-help— serius, sampai saat ini gue setidaknya punya 7 buku dan ini cukup membantu — mencoba memahami konsep tentang mengenal diri sendiri, tentang tujuan hidup, tentang melakukan apa yang disukai dan bergulat didalamnya apapun rintangan yang menghadang, tentang terus berlatih dan berlatih hingga sebuah ability bertransformasi menjadi sebuah skill yang kelak dapat berguna untuk mencari pekerjaan yang diimpikan.

Gue pun mencoba test personality ini dan itu, dan ternyata gue masuk kedalam kategori INTJ (introversion, intuition, thingking, judgment) yang mana katanya merupakan salah satu kepribadian langka di dunia, dengan presentase hanya 1–2% dari populasi. Hmm.. menarik juga. Gue pun membuat bagan IKIGAI gue sendiri, menemukan sweet spot apa yang sebenarnya gue bisa lakukan untuk gue pribadi dan dunia. Gue pun menulis 101 fakta tentang diri gue sendiri, mulai dari hobi, kegiatan-kegiatan yang gue suka, hingga makanan favorite dan bahkan warna favorite! mungkin ini terdengar sepele, tapi semua itu sangat berarti bagi gue, itulah yang merubah hidup gue, membuat gue merasa lebih baik setiap waktunya, dengan hanya mengenal siapa diri gue sebenarnya dapat menuntun gue untuk menyayangi dan respect terhadap diri sendiri.

Final Step (know yourself):

Dalam 24 jam sehari, dalam 7 hari seminggu, coba sisihkan dan luangkan waktu untuk berdiskusi dengan dirimu sendiri, cobalah menyelam, mengenal siapa diri kamu sebenarnya, apa yang sebenarnya kamu inginkan, apa yang bisa kamu lakukan untuk diri kamu sendiri dan dunia. Temukan semua itu sedini mungkin, dan mulai sayangi dan cintai diri kamu sendiri dengan apa adanya.

Karena seperti yang pepatah bilang: 2 hari yang paling penting di hidupmu ialah hari dimana kamu lahir dan hari dimana kamu tahu tujuan hidupmu (mengenal dirimu).

Illustration by Freepik

Dan.. pada akhirnya semua itu mungkin gak bakal gue lakukan, kalo gue gak mengalami masa kelam itu terlebih dahulu, masa dimana gue berada di titik rendah kehidupan. Gue bersyukur Tuhan memberikan gue pengalaman pahit itu yang kini membuat gue menjadi pribadi yang lebih baik, lebih tangguh, lebih kenal siapa diri gue sebenarnya, dan tentunya lebih bersyukur atas semua yang terjadi dalam kehidupan gue hingga detik ini.

Sekarang gue lagi doyan-doyannya membaca dan terus belajar, memperluas wawasan dan sudut pandang gue tentang dunia. Karena gue yakin semakin banyak kita membaca, semakin banyak pula wawasan yang kita punya, semakin bijak pula kita dalam menghadapi kehidupan. Sekarang gue tahu apa yang harus gue lakukan berikutnya, meskipun gue sadar puluhan, ratusan bahkan ribuan masalah akan selalu menghampiri gue didepan. Tapi seperti kata Mark Manson, dari pada menghindari masalah yang tak berujung lebih baik berteman dengan masalah itu sendiri, membuat diri kita terlatih dengan masalah, sehingga semakin hari mental kita semakin kuat. Juga, pelaut yang hebat gak lahir dari lautan yang tenang bukan?

Dan begitulah secarik kisah, cerita, pengalaman gue tentang keluar dari titik rendah kehidupan, tentang bangkit dari keterpurukan, tentang bertarung melawan si monster jahat yang memenuhi isi kepala. Semoga ada manfaat yang bisa dipetik, semoga menambah sedikit wawasan pembaca tentang kondisi orang-orang yang mengalami hal-hal tersebut. See you again!

Catatan : Ada satu hal yang terlewat, yang gak gue singgung sebelumnya, dan ini menurut gue penting untuk diketahui: Jujur pada diri sendiri, akui bahwa kamu sedang punya masalah, jangan sok tegar karena itu berbeda dengan kamu memang benar-benar tegar, akui saja, dan itu akan menjadi titik awal kamu buat mencari solusi atau jalan keluarnya. You can do it!

Terakhir, sedikit foto narsis gue saat ini hehe,

Dan ini beberapa foto gue bareng temen-temen di Kampung Inggris, Pare.

Baca story gue lainnya di :

Temukan gue di :

--

--

Raihan Allaam

Insight Stories : Sharing insight, review buku dan beragam cerita tentang kehidupan. By : alamehan.github.io